Penantian Yang Tak Berujung


Penantian Yang Tak Berujung

    “Penantianku selama kurang lebih 7 bulan tidaklah sia-sia, dia yang aku tunggu kini telah kembali.”
Dia adalah seorang pria yang merupakan kakak tingkat di kampusku, aku mengenalnya sejak pertama kali masuk kuliah 4 tahun yang lalu. Saat itu, hampir semua mahasiswa baru seangkatanku menyadari kehadiran sosok pria tampan namun cuek dan terkesan jutek yang tidak lain adalah dia. Pesona nya begitu memikat para mahasiswi baru tak terkecuali aku. Aku pun menyadari dia tampan, tapi sikap juteknya itu yang membuatku merasa hanya menyukai dia karena ketampanannya saja.
Waktu ospek pun berlalu, kini aku memasuki semester 1 dan mendapat banyak teman baru di kampus maupun di tempat kostku. Ternyata tempat kost pria cuek itu pun bersebelahan dengan kosanku. Karena memang secara kebetulan di sini kosan pria dan wanita bersebelahan, dan yang tidak aku sangka salah satu penghuni kosan sebelah itu adalah dia, si pria cuek itu. Walaupun masa ospek telah berlalu, namun masih banyak teman-temanku yang begitu terkagum-kagum saat bertemu dengannya. Rupanya ketampanannya masih menjadi sihir bagi para wanita.
Satu tahun berlalu. Memasuki semester 3, aku kembali ke kosan setelah menghabiskan waktu libur panjangku selama 3 bulan di kampung halamanku. Saat aku tiba di kosan, aku menyadari ada yang berbeda dengan tetangga kamar sebelahku. Lebih tepatnya tetangga kamar kosan sebelahku. Kamar yang biasanya sepi tanpa suara berisik, kini menjadi sangat bising layaknya di sebuah keramaian. Hal itu yang membuatku penasaran untuk mencari tahu siapa sebenarnya tetangga kamar sebelahku sekarang. Setelah menanyakan kepada salah satu penghuni kosan sebelah, akhirnya aku mengetahui bahwa tetangga kamar sebelahku sekarang adalah dia. Iya, dia lagi, si pria cuek itu. Kini kamar kami bersebelahan, dan secara otomatis aku pun harus membiasakan diri dengan suara-suara berisik yang sebelumnya tak pernah mengganggu tidurku di kala malam.
Suara petikan gitar, alunan musik dengan volume yang sangat tak biasa serta teriakan saat ada pertandingan sepak bola kini menjadi suasana pelengkap hari-hariku kala siang dan malam. Dan aku harus membiasakan diri untuk itu. Aku mulai penasaran dengan tetangga baruku, penasaran dengan si pria cuek itu. Karena dia yang aku tahu di kampus adalah orang yang cuek, gak terlalu banyak bicara, sangat jaim, bahkan jutek. Ya pokoknya masih seperti penilaianku saat pertama kali melihatnya. Di kampus, dia hanya berkomunikasi dengan orang-orang terdekatnya saja. Hingga aku berpikir, mungkin hanya orang-orang dengan kriteria tertentulah yang bisa berteman dengannya. Akan tetapi semua penilaianku di kampus terhadapnya berbanding terbalik saat dia di kosan. Dia yang gak terlalu banyak bicara saat di kampus, tetapi sangat berisik saat di kosan. Dia yang selalu tampil perfect di setiap penampilannya saat ke kampus, tapi bisa tampil dengan seadanya saat aku bertemu dengannya di luar kampus.
Itulah yang membuatku penasaran ingin mengetahui sosok seperti apa sebenarnya si pria cuek itu. Apakah kepribadiannya seperti yang aku tahu saat dia di kampus atau malah sebaliknya, seperti yang biasa aku lihat di luar kampus. Tapi yang pasti sikap cuek dan juteknya tetap sama, mau di kampus ataupun di luar kosan terkecuali sama teman-teman terdekatnya. Waktu terus berlalu, kini aku sudah mulai terbiasa dengan kebisingan-kebisingan yang bersumber dari kamar dia. Walaupun begitu, tapi setiap kali bertemu dengannya, tak pernah sekali pun kami saling menyapa satu sama lain. Karena aku tipe orang yang gak suka mulai duluan kalau sama orang yang belum aku kenal, Ya walaupun dia kakak tingkatku, tapi aku hanya sebatas tahu orangnya serta namanya saja tanpa pernah tahu kepribadian dia yang sebenarnya seperti apa.
Dan mungkin dia pun begitu, pantang baginya menyapa orang yang tak dia kenal. Rasa penasaran itu kini berubah menjadi rasa suka, entah apa yang membuatku menyukainya. Aku mengenalnya hanya sebatas tahu orangnya serta namanya saja. Gak tahu kepribadiannya, bahkan belum pernah berkomunikasi dengannya. Sehingga pasti terdengar aneh, saat aku bilang kalau aku menyukainya. Lantas apa yang membuatku menyukainya? entahlah, aku pun tak dapat menjelaskannya. Yang pasti kini aku selalu ingin tahu semua tentangnya, ingin lebih mengenalnya dan tak menampik kalau aku ingin bisa dekat dengannya. Mungkin terdengar konyol, tapi itulah yang aku rasakan sekarang. Aku menyukai pria cuek itu.
Rabu, 24 desember 2014 adalah hari dimana dia resmi menjadi seorang sarjana. Hari itu adalah hari wisudanya, dan di hari itu pula aku memberanikan diri untuk datang, mengucapkan selamat dan memberinya setangkai mawar putih. Di acara itulah untuk pertama kalinya aku berkomunikasi secara langsung dengannya, walaupun tak banyak yang kami bicarakan tapi aku itu sudah cukup membuatku senang. Seandainya dia tahu, tadinya apa yang ingin aku bawakan untuknya? Jawabannya adalah sebuah hadiah. Ya, kado sebagai hadiah di hari bahagianya. Akan tetapi, aku bingung memutuskan hadiah apa yang pantas aku berikan. Hingga akhirnya, hanyalah setangkai mawar putih yang aku berikan.
Bahagia? Sangat. Tapi ternyata kebahagiaanku hanyalah sementara. Setelah itu, dia kembali ke kampung halamannya. Jauh di seberang pulau sana, walau begitu tapi aku selalu berharap dia akan kembali lagi ke sini. Ke kota ini, dan di kosan ini. Hari demi hari, minggu ke minggu aku lalui tanpa dia di kota ini. Kini tak pernah lagi ada yang mengganggu waktu tidurku dengan suara teriakan saat menonton sepak bola, tak lagi aku mendengar suara alunan musik dengan volume yang tak biasa, tak ada lagi suara nyanyian yang biasa aku dengar, dan tak ada lagi yang biasa membangunkanku dengan suara petikan gitar di kala pagi. Dan aku harus kembali membiasakan diri untuk itu. Sepi? Pasti Kehilangan? Iya Aku selalu berharap dia kembali, dan aku yakin dia pasti kembali. Entah apa yang membuatku mempunyai keyakinan sekuat itu, aku hanya mendengar hati kecilku bicara. “Dia pasti akan kembali.”
Hingga akhirnya penantianku selama kurang lebih 7 bulan tidaklah sia-sia, dia yang aku tunggu kini telah kembali. Dia kembali ke kota ini, dan dia kembali menjadi tetangga kamar kosan sebelahku. Senang sekaligus tak percaya, itulah yang aku rasakan. Aku tak menyangka keyakinanku selama ini menjadi nyata. Walaupun aku tak tahu apa alasan yang membawanya kembali ke kota ini. Mengetahui dia telah kembali, tapi aku belum pernah bertemu dengannya lagi. Walaupun kamar kami bersebelahan, hanya suaranya saja yang bisa aku dengar dari balik dinding kamar. Hingga pada suatu hari, siang itu tanpa sengaja untuk pertama kalinya aku dipertemukan dengan dia.
Speechless, itulah yang aku rasakan saat itu, aku tak menyangka aku masih diberi kesempatan untuk bisa bertemu dengannya. Pertemuan pertama setelah acara wisuda, dan pertemuan kali ini dia tersenyum padaku. Si pria cuek yang biasanya jutek setiap kali bertemu, kini memberikan senyuman padaku. Sulit dipercaya, but I’am very happy. Setiap kali bertemu kini aku selalu melihat senyumannya bahkan sapaan darinya, dan aku pun tak pernah ragu untuk membalasnya. Hingga kemudian, kami jadi lebih sering berkomunikasi. Yang aku ingat, saat pertama kali dia mengirim pesan singkat melalui chat BBM, dia bilang makasih buat bunga mawar putihnya. Ternyata 7 bulan gak ketemu, dia masih ingat kalau aku yang memberikan dia mawar putih di acara wisuda waktu itu.
Kini dia mengenalku, begitu pun aku mengenalnya. Semua penilaianku selama ini tentang dia semuanya salah. Dia tidak seperti yang aku pikirkan, ternyata dia adalah sosok orang yang menyenangkan. Semakin mengenalnya, aku malah semakin menyukainya. Tapi rupanya kali ini kebahagiaanku pun tak berlangsung lama. Hari demi hari, sikapnya mulai tak biasa. Beberapa bulan yang lalu, kita bisa ngobrol sampai larut malam. Tapi hari ini, bahkan sampai mau bilang “hai” saja aku tak tahu caranya. Entah apa yang membuatnya berubah, aku tak pernah mempunyai keberanian untuk menanyakan langsung semua itu padanya. Di sisi lain, keputusan orangtuaku supaya aku pindah dari kota itu pun tak bisa aku hindarkan lagi.
Aku merasa semuanya tak adil bagiku, selama ini aku menjalani apa yang aku yakini. Aku pernah yakin pada apa yang aku anggap layak untuk ku perjuangkan, dan aku memperjuangkan apa yang aku inginkan. Tapi setelah apa yang ku lakukan tak diperhatikan, aku mundur perlahan. Karena yang dirindu tak pernah mau tahu, dan yang dinanti tak kunjung pasti. Namun semua itu tak akan pernah merubah apa pun, sekali pun perasaanku padanya. Lantas apa selama ini kau memang tak pernah tahu? Atau mungkin kau memang tak pernah mau tahu?
Cerpen Karangan: Ferderika Wila
Facebook: Ferderika Wila
Previous
Next Post »